Senin, 04 Februari 2013

The Culture of Kudus



Jika kita bicara mengenai tradisi yang ada di Kudus itu banyak sekali, apalagi disetiap desa memiliki tradisi yang berbeda-beda.
Kali ini saya akan mengupas beberapa tradisi yang ada di Kudus:
·       Buka Luwur
Buka Luwur adalah upacara pergantian kain mori yang digunakan untuk membungkus makam  Sunan Kudus. Acara ini biasanya dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Hal itu disebabkan karena pada tanggal 10 Syura ilmu Tuhan diturunkan di bumi, sehingga tanggal tersebut dianggap keramat. Namun acara Buka Luwur tersebut memberi anggapan kepada masyarakat bahwa pada tanggal itulah Sunan Kudus wafat. Padahal wafatnya Sunan Kudus tidak ada yang mengetahui secara pasti.
Secara kronologis, sebenarnya proses upacara Buka Luwur tersebut diawali dengan penyucian pusaka berupa keris yang diyakini sebagai milik Sunan Kudus, dilaksanakan jauh sebelum tanggal 10 Syura, yaitu akhir Besar. Biasanya air bekas menyuci keris yang dalam bahasa Jawa disebut Kolo itu diperebutkan masyarakat yang mempunyai keris untuk menyuci kerisnya, karena mereka berharap berkah dari Sunan Kudus.
Kemudian pada tanggal 1 Syura atau 1 Muharram dilakukan pelepasan kain mori penutup makam yang sudah digunakan selama setahun. Kain mori itulah yang disebut Luwur, biasanya kain mori bekas penutup makam tersebut diperebutkan masyarakat untuk mendapat berkah. Pada tanggal 9 Muharram digelar acara terbangan serta pembacaan kitab berjanji dan diakhiri dengan do’a. Pagi harinya dilakukan Khataman Al-Qur’an kemudian dilanjutkan pembuatan bubur Syura serta penyembelihan hewan sumbangan dari masyarakat dan akan dibagikan kembali kepada masyarakat.
Pada tanggal 10 Muaharram digelar acara tahlil dan pengajian umum. Puncak acara Buka Luwur adalah pemasangan Luwur baru yang berpusat di Tajug ( Joglo tempatpenerima tamu), acara tersebut dilakukan  beberapa prosesi, diantarnya adalah pembacaan riwayat Sunan Kudus dilanjutkan dengan pembacaan kalimat tasbih bersama. Rangakaian proses di Tajug diakhiri dengan pemasangan Luwur baru dan ditutup dengan pembacaan tahlil berikut do’anya. Pada hari yang sama masyarakat ikut berpesta dengan memperebutkan makanan berupa nasi dan daging yang dibungkus daun jati, sebab makanan tersebut dianggap memiliki barkah dan dapat menyembuhkan penyakit.
Buka Luwur bagi masyarakat Kudus ibarat sebagai pesta rakyat masyarakat secara aktif mengumpulkan sendiri bahan makanan yang akan dibagikan, serta memasaknya sendiri kemudian dibagikan kepada masyarakat. Semua itu dilakukan untuk menunjukkan rasa syukur mereka kepada Allah.

·       Dandangan

Bagi masyarakat kota Kudus Dandangan bukanlah suatu hal yang asing di telinga. Dandangan adalah sebuah tradisi yang sudah ada sejak zaman Walisongo atau zaman Raden Ja’far Shodiq atau yang lebih dikenal dengan  Sunan Kudus. Tradisi Dandangan pada mulanya hanya kegiatan tabuh bedug untuk menandai datangnya bulan Ramadhan di Menara Kudus.
Pada masa itu masyarakat Kudus berkumpul di depan Menara Masjid Al-Aqsha atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus untuk menunggu penggumuman awal Ramadhan dari Sunan Kudus. Setelah keputusan awal Ramadhan itu disampaikan, maka dipukullah bedug di Masjid yang berbunyi “dang…dang…dang…”, dari suara bedug itulah muncul istilah Dandangan.
Dandang dalam bahasa Jawa berarti tempat (panci) yang terbuat dari alumunium untuk menanak nasi atau air. Mungkin yng dimaksud adalah tempat untuk mencari nafkah bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya. Dandangan yang dulu dikenal sebagai acara tabuh bedug, kini menjelma seperti acara pasar malam. Banyak pedangang kaki lima yang menjajakan berbagai macam dagangannya 2 minggu menjelng Ramadhan. Menurut para pedagang, mareka tidak hanya mencari keuntungan dari dagangannya tapi juga ingin mencari berkah dari Sunan Kudus.
Dengan diadakannya Dandangan tiap setahun sekali, membuat masyarakat kota Kudus selalu ingat akan datangnya bulan Ramadhan, maka dari itu berpuaslah sesuai dengan firman Allah SWT QS: Al_Baqarah ayt 185
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barang siapa di antara kamu menjumpai bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa…”.(al-Baqarah:185)

·       Kupatan

Kupat dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi, yakni kuffat yang berarti sudah cukup harapan. Kupatan yaitu tradisi yang dilaksanakan pada hari ke-7 setelah Idul Fitri dengan keramaian hiburan rakyat mulai pagi sampai sore. Tradisi ini sangat terasa jika kita berada di kota Kudus, Jepara, Pati, Demak, Kendal dan daerah-daerah yang lain terutama Pantura. Karena dihari kupatan, masyarakat Kudus, Jepara dan sekitar merayakan kupatan dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu, misalnya Bulusan di Kudus, pantai Kartini dan Bandengan di Jepara. Tempat tersebut sampai sekarang masih menjadi wisata favorit untuk menghabiskan hari raya Kupatan.
Tidak diketahui persis kapan mulai berkembangnya tradisi Kupatan dan apa makna filosofi dari perayaan tradisi tersebut. Ada yang berpendapat bahwa Kupatan merupakan hari raya orang yang berpuasa 6 hari pada satu minggu setelah Lebaran hari pertama yaitu tanggal 2-7 Syawal. Pendapat lain mengatakan bahwa Kupatan berasal dari kata Kupat singkatan dari ngaku lepat, artinya adalah mengaku salah. Kupatan berarti ngaku kelepatan, mengakui banyak kesalahan. Apapun makna dan filosofinya, Kupatan merupakan tradisi yang penuh dengan makna khususnya Jawa. Secara sosiologis, seolah Kupatan telah mengajarkan arti pentingnya saling bertemu dan saling mengakui kesalahan serta memaafkan satu sama lain.
Tradisi Kupatan berangkat dari upaya-upaya Walisongo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para Walisongo memanfaatkan cara tersebut. Sehingga tradisi Kupatan menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Ja a Nur  yang berarti telah datang cahaya. Biasanya oleh masyarakat Jawa, janur digunakan dalam suasana suka cita, umumnya dipasang dalam acara pernikahan atau momen bahagia lain.